Kamis, 23 Oktober 2014

BUDAYA YANG TAK DIBUDIDAYAKAN



Opini
BUDAYA YANG TAK DIBUDIDAYAKAN
Lorensius Irjan Buu
Dalam peradaban modern sekarang ini, banyak kontaminasi budaya eksternal yang mempengaruhi budaya internal. Efek westernisasi yang melejit pesat kian mengarungi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tingkat perhatian dari pihak yang berwenang untuk menanggulanginya, seperti menemukan jalan buntu. Hal ini menimbulkan pertanyaan, kemana arah pencanangan sejumlah aturan yang tertera dalam dogma-dogma institusi, lembaga atau organisasi tertentu. Seperti menelanjangi budaya sendiri, maraknya seks bebas, miras (minuman keras), kekrasan dan penganiayaan, dan narkoba yang mewabah dalam sekejab.
Sepengetahuan saya, masing-masing daerah dengan ikatan budaya yang telah dirajut menjadi satu budaya komunal di Nusa Tengara Timur (NTT), telah mengajarkan bagaimana berbudaya yang baik. Perihal ajaran moralitas dengan prosesi kulturalisasi. Inilah yang menjadi kekuatan bagi setiap insan. Dalam ajaran adat istiadat tidak menggunakan dogma sebagai panduan utama, tetapi kesadaran dan ikatan kulturalisme dengan segala bentuk pemujaan, sesajian dan tertib dalam kekhusukan seremonial. Sesuatu yang bernilai luhur, adalah ikatan kesetiaan terhadap budaya adat istiadat. Adalah merupakan suatu yang luar biasa, jika setiap insan mampu bergelut dalam kesetiaan budayanya sendiri dengan memperhatikan term-term gejala modernisasi. Nenek moyang/para pendahulu serta para budayawan telah mewadaskan dan tidak mengajarkan sesuatu yang salah, apalagi yang bersifat melanggar aturan. Setiap budaya di NTT mempunyai aturan yang ketat dan jika melakukan kesalahan yang merujuk pada liang lahat tabu atau haram, tak ada komporomi berlanjut. Aturan bersifat mutlak. Itulah yang perlu ditegakkan di masa sekarang. Berawal dari tindakan pengremehan, akan menjadi suatu habitus yang dientengkan di masa yang akan datang.
Tanpa disadari, budaya di NTT perlahan digerus oleh percikan-percikan budaya dari luar. Gejala seperti ini berkecimpung dominan di kalangan remaja. Memang sulit diatasi, karena melihat dari sisi psikologi adalah masa-masa labil. Banyak kasus yang mengatasnamakan remaja dengan modus kasus seperti miras, seks bebas dan narkoba, tawuran dan penganiayaan. Entah bermula dari mana langkah awal yang harus ditempuh, tembok yang menjadi penghalang begitu gampang dirobohkan. Reparasi moral perlu ditata dari dini. Himbauan ini sebagai bentuk keprihatinan insan yang memperhatikan. Norma-norma dalam adat istiadat diperlakukan sebagai anak tiri dan mengabaikan segelintir aturan yang tertera pada lembaga atau intitusi tertentu yang mengatur. Ini tampak seperti kecolongan terhadap budaya, hanya turut partisipasi aktif  dalam aluran arus zaman.
Budaya yang baik dan beradab hanya terngiang dalam pikiran, terumus dalam sejumlah rangkaian wacana dan pelak dari sesuatu yang dikatakan sebagai tindakan nyata. Sulit sekali bahkan boleh dikatakan ruwet untuk mengatasi. Kekuatan sebagai sandaran dan perihal implementasi akan mampu ditampakkan apabila sosok keberadaan zaman yang sedang melaju kencang pada rodanya, dipantau dan dirasionalkan sebagaimana mestinya. Siapa saja boleh turun tangan, karena ini adaah tanggung jawab kita bersama. Pantang menyerah dan berusaha mengalahkan diri sendiri dari tantangan modernisasi perlu dibuktikan dan tidak hanya sebatas sosialisasi dini dan serangkaian metode serta teori yang dikemukakan dengan iringan publikasi, sejalan dengan mempublikasikan diri sebagai pembicara hebat, tapi buahnya nihil.
Bandingkan dengan budaya-budaya lokal di sejumlah wilayah atau pedesaan di NTT. Salah satu budaya yang sangat tajam (tidak menutup kemungkinan budaya di daerah lain), budaya Ja’i dari daerah Ngada dan Nagekeo. Apa yang bisa dipetik dari budaya ini? Pelestarian yang boleh dikatakan sudah mencapai tingkat kulminasi. Budaya Ja’i ini sudah menjadi santapan massa di kala pesta dan acara-acara lainnya. Lantas apa kaitannya dengan budaya di era modern sekarang ini? Insan-insan yang tak merasa siapa dirinya dan dari mana asal ia lahir dengan budaya yang telah melekat sejak dini, mengabaikan dengan kepolosan acuh tak acuh. Relevansi nilai budaya lokal dengan budaya di era modern seakan-akan menjadi sebuah tabrakan dan berlomba-lomba mengukir sejarah privasi atau komunal demi labelisasi dan pencarian ketenaran. Budaya lokal tetaplah budaya yang membatu dan memegang hak mutlak. Budaya modernisasi lebih menekankan reputasi untuk sesuatu yang bersifat komersial dan jika dikaji dari tingkat kelayakan konsumtif, budaya modern hanyalah sebagai budaya modifikasi dengan memangkas sejumlah aturan pada budaya lokal. Tindakan ini adalah suatu penyimpangan karena adakala tidak menerima aspek dan nilai dari budaya yang orisinal.
Lembaga yang berwenang menanggulangi penyimpangan dalam budaya, semestinya tidak mempertimbangkan dan menciptakan teori komparatif baru yang inovatif diskursus. Budaya teaplah pada pendiriannya sebagai fondasi budaya yang berelemen kekhasan lokal sebagai warisan dan kekayaan lokal, bukan memperkaya dengan kombinasi serta intervensi budaya modernisasi sepihak dan non-selektif. Kearifan lokal akan lebih mencuat dari porsi budaya. Kebijaksanaan lokal muncul karena ketaatan terhadap budaya setempat dan tidak mengintervensi dengan budaya modern yang terkadang tak jeli melihat efek dan kelemahan moral yang pad akhirnya membunuh budaya sendiri di kemudian hari. Para leluhur sudah memandatkan warisan budaya sebagai pegangan setiap insan untuk menjadi panutan dalam realitas hidup, sedangkan budaya modern yang sedang melaju, kalau disadari secara intensif, budaya tersebut adalah alat pancing dengan umpan yang menggiurkan. Maka, lahirlah hedonisme yang menjadi biang kreasi yang non-progresif.
Budaya kita, tetaplah budaya kita dan budaya sendiri yang tertanam semenjak leluhur wariskan kepada kita. Perlu ada normalisasi yang ketat untuk kemabli memajukan budaya kita, budaya kearifan lokal di Nusa Tenggara Timur sebagai kekuatan dan pegangan demi kemajuan daerah, moralitas yang tergerus masa bahkan mati suri. Bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang bermartabat, bangsa yang berkualitas dalam kearifan lokal, bangsa yang taat terhadap adat istiadat. Hemat saya, apapun yang menjadi santapan budaya lokal, perlu dikembangkan dalam sistem jaringan luas, sehingga bukan hanya budaya luar yang membangun jaringan tetapi budaya lokal juga yang sebenarnya sangat potensial.





1 komentar:

  1. Youtube - vimeo.com : Videos of the "Big Bang Theory" - Vimeo
    youtube.com: Videos of the "Big Bang Theory" by Videos of the "Big Bang Theory" by Videos of the "Big Bang Theory" by Videos of the "Big Bang Theory" by youtube mp3 Videos of the "Big Bang Theory" by Videos of the

    BalasHapus