RADIKALISME EDUKASI
Lorensius
Irjan Buu
Berbicara tentang
pendidikan, merupakan bahasa abstrak, tapi perwujudannya berpengaruh besar
dalam setiap segmen kehidupan manusia. Tinjauan terhadap pendidikan tidak hanya
satu versi, melainkan beragam versi, yang merangkul sector internal dan
eksternal setiap insan. Pada sektor internal, dia lebih mengarahkan pada
pembedahan dan pembenahan karakteristik, yang meliputi aspek psikologi,
mentalitas, moral batiniah, yang kemudian dikembangkan dalam pendidikan nilai
(karakter). Dikatakan sistem pendidikan yang radikal, karena menimba pendidikan
bukan hanya untuk sekolah, menimba pendidikan lebih pada bidang kehidupan, (non scholae sed vitae discimus).
Salahlah bagi orang yang berargumentasi bahwa proses pembelajaran
dispesifikasikan pada situasi formal, sedikit melirik pada proses pembelajaran
non formal. Perlu diketahui bahwa pendidikan itu ada karena atmosfer di luar
situasi formal. Pengalaman yang non formal ditarikmasukkan dalam pendidikan
formal. Pada pendidikan formsl, para pelajar dididik bukan atas dasar
serentetan manajemen aturan, tapi dididik karena makna tersirat dari aturan itu
sendiri, (the invisible meaning) yang
secara tidak sadar membina aspek karakteristik yang radikal. Pendidikan
bukanlah budaya, melainkan hal dasariah yang boleh kita katakan sebagai primary item. Pendidikan adalah
cakrawala yang memberikan kecerahan di masa yang akan datang. Tinjauan mengenai
masa depan kita hanya sebatas menginterpretasikan, masih sejauh alur prediksi,
kemungkinan yang akan terjadi belum memberikan jawaban pasti. Untuk meyakinkan
itu, tentulah membutuhkan tahap pembelajaran yang berkala. Dalam prosesi
tahapan pembelajaran itu adalah prosesi yang menguji tipikalisme watak dan
karakter kita, bagaimana kita bisa mencapai titik kulminasi dari kesuksesan
pendidikan itu, apakah bertahan pada integritas legalimse manajerialis, ataukah
terlepas dari ikatan itu. Disinilah dikatakan bahwa pendidikan bukan hanya
sekedar mengejar nilai yang tertera di kertas, tapi lebih diprioritaskan pada
nilai di atas nilai (vertikalisme).
Pendidikan dapat
memberikan jawaban juga terhadap aspek bakat dan talenta. Analisis terhadap
perspektif biologis, itu berkembang secara alami. Dalam kaitannya dengan
edukasi, ia memberikan pemantapan dan kemapanan yang intensif dan efisiensi.
Jika pertumbuhan siswa normal, maka dia akan bersikap enerjik, aktif, dan
respek, sebaliknya untuk siswa yang pertumbuhannya tidak normal sulit mengenali
potensi dan skill dalam dirinya. Aspek kejiwaan ini juga berperan meluruskan
jati diri seorang siswa melalui jalur pendidikan. Pendidikan menghadirkan dua
versi, yaitu:
Ø Pribadi yang berkompeten,
dimana ia merealisasikan ilmu dalam praktek hidup keseharian (aktualisasi
berbasiskan reality). Disini ia harus kreatif dan inovatif, menampilkan
keunggulan aktif dari pendidikan itu sendiri. Secara tidak langsung ia
mengembangkan potensi yang sudah ada dan yang baru didapat sambil beradaptasi
dengan keadaan, sehingga proses berkompeten berjalan lancar dan kendalapun tak
terlalu membebankan.
Ø Pendidikan memberikan dorongan bagi
siswa untuk menentukan pilihan. Dalam menentukan
pilihannya, siswa harus berkomitmen dan berpegang teguh pada komitmen yang
telah ditanamnya (konsisitensi). Pilihan itu harus selektif rasional, maksudnya
berdasarkan pertimbangan yang sudah matang dan bijaksana, serta sudah siap
menerima segala bentuk konsekuensi atau resiko.
Performa pendidikan
bukan hanya dilihat dari sisi luar saja. Ini sama saja pendidikan itu masih
bersifat mengambang, dan penentuan arah masih monotone. Berkompeten pada
situasi formal itu sangat belum cukup untuk menjamin kehidupan pendidikan
(education life), sebab proses mewujudnyatakan adalah pengindahan dari
pendidikan itu sendiri, dan nilai yang lebih diutamakan dalam penilaian adalah
praktikum. Presentasenya, 1% kita belajar teoritis, 99% kita terjun ke
lapangan, membuktikan apakah diri kita mampu menyerap semuanya, dan mampu
bertindak sesuai target yang sudah dikemukakan itu. Logika berpikir yang
rasional, logika berpikir yang kreatif dan inovatif harus bergandengan tangan,
sebab ketiganya ini mempunyai otonomi integritas. Jangan kita menimbulkan arus
balik yang menentang, itu sama saja kita telah mengalokasikan teoritis pada
versi yang akut, versi yang dominannya
lebih pada gudang resiko yang pada akhirnya boomerang.
Dalam pendidikan yang
kita kejar adalah point, bukan koin. Dengan meluncurkan sang pioner
yaitu, point, dengan sendirinya koin itu hadir. Banyak orang yang tidak
menyekolahkan anaknya hanya karena biaya pendidikan yang terlalu melejit naik.
Itu adalah alasan klasik sebagai strategi untuk menangkis, atau merendahkan
diri, mengakui sebagai orang yang berada pada posisi tidak mampu. Kalau orang
tua betul-betul mempunyai niat besar dan ingin anaknya sekolah demi masa depan
yang cerah, apa salahnya mereka korbankan segala kepentingan yang bersifat pleasure principle? Eksistensi primer
orang tua adalah memperhatikan anaknya, bagaimana ia mengatur dan mendidik
anaknya tidak hanya dalam keluarga. Memang pendidikian dasar itu berawal dari
keluarga, tapi itu belum cukup untuk pemenuhan dan kepuasan intelektual seorang
anak. Anak butuh pendidikan untuk mampu melengkapi kekurangan dari pendidikan
awal dalam keluarga, yaitu pendidikan formal. Di sini ia akan mendapat
pengetahuan yang mungkin dalam keluarganya sedikit ada penyimpangan atau
ironisnya sedikit di luar alur. Biaya pendidikan bukanlah sebagai problem yang
membuat dilema, tapi harus melihat kemauan dan minat dari anak serta orang tua.
Orang tua mengharapkan anaknya hidup dalam kemapanan, itu sudah pasti dan
mutlak membutuhkan pendidikan yang komplementer, maksudnya, di samping ia
menerima pendidikan non formal, ia juga harus mengisi pengetahuannya dengan
pendidikan formal. Adaptasi antara kedunya akan menghadirkan satu titik
kecerahan yang mungkin saja mayoritasnya menjamin, dan menjanjikan kehidupan,
bukan hanya menjanjikan segi teoritis yang tertera di atas dogma atau di atas
kertas-kertas putih yang terstruktur.
Pendidikan adalah
sesuatu yang bersifat abstrak, tapi mempunyai pengaruh besar dalam setiap
sektor kehidupan manusia (the big
influence). Arah dan tujuan dari pendidikan itu sendiri tak usah kita
menganalisa jauh-jauh, sebab arah dan tujuannya tanpa kita sadari telah hadir
depan mata kita. Secara kasat mata, tentu kita tak mampu melihat seluk-beluk
pendidikan itu, tapi kalau kita melihat dengan mengintrospeksi diri, ternyata
pendidikan itu mempunyai jasa yang tak akan pudar, akan terus melekat dalam
setiap diri kita. Sadarkah kita, bahwa sekian tahun kita bergelut dalam ruang
pendidikan sehingga kita berdiri pada posisi sekarang? Profesionalisme
pendidikan tak sebanding dengan profesionalisme kita sekarang ini. Profesi kita
ini suatu waktu akan sampai pada limit waktu yang sudah ditentukan, sedangkan
pendidikan itu tak akan berakhir sampai akhir hayat, berlaku sepanjang masa,
dan tak mengenal tempo limit waktu.
Struktur pendidikan itu
ada tiga, yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga-tiganya ini tak
mungkin berjalan sendiri-sendiri, mereka akan selalu merapatkan barisan
mengejar yang terbaik demi pemenuhan intelektual yang kemudian difokuskan dalam
proses realisasi. Struktur ini berlaku baku dan sudah membias dalam era
globalisme. Sekarang tinggal kita yang sebagai peserta prosesi pendidikan,
beradaptasi secara bijaksana tanpa melepaskan atau memutuskan benang merah yang
sudah terkait satu dengan yang lainnya. Benang merah itu adalah ikatan kesatuan
yang menyatukan kita dalam tali persaudaraan demi mengejar pendidikan,
pendidikan, dan pendidikan. Kita sebagai pelajar, harus siap menghadapinya
dengan hati lapang, dan sebagai kader-kader pelaku perubahan (agent of change). Ingat! Sukses adalah
hak saya. Kesuksesan bukan milik orang-orang tertentu. Sukses adalah milik
saya, dan milik siapa yang benar-benar menyadari,menginginkan, dan
memperjuangkannya dengan sepenuh hati.
“belajar tanpa berpikir itu sia-sia, berpikir tanpa belajar itu
berbahaya”
Sekian
dan terima kasih.