Kamis, 23 Oktober 2014

EDUKASIONAL



RADIKALISME EDUKASI
Lorensius Irjan Buu
Berbicara tentang pendidikan, merupakan bahasa abstrak, tapi perwujudannya berpengaruh besar dalam setiap segmen kehidupan manusia. Tinjauan terhadap pendidikan tidak hanya satu versi, melainkan beragam versi, yang merangkul sector internal dan eksternal setiap insan. Pada sektor internal, dia lebih mengarahkan pada pembedahan dan pembenahan karakteristik, yang meliputi aspek psikologi, mentalitas, moral batiniah, yang kemudian dikembangkan dalam pendidikan nilai (karakter). Dikatakan sistem pendidikan yang radikal, karena menimba pendidikan bukan hanya untuk sekolah, menimba pendidikan lebih pada bidang kehidupan, (non scholae sed vitae discimus). Salahlah bagi orang yang berargumentasi bahwa proses pembelajaran dispesifikasikan pada situasi formal, sedikit melirik pada proses pembelajaran non formal. Perlu diketahui bahwa pendidikan itu ada karena atmosfer di luar situasi formal. Pengalaman yang non formal ditarikmasukkan dalam pendidikan formal. Pada pendidikan formsl, para pelajar dididik bukan atas dasar serentetan manajemen aturan, tapi dididik karena makna tersirat dari aturan itu sendiri, (the invisible meaning) yang secara tidak sadar membina aspek karakteristik yang radikal. Pendidikan bukanlah budaya, melainkan hal dasariah yang boleh kita katakan sebagai primary item. Pendidikan adalah cakrawala yang memberikan kecerahan di masa yang akan datang. Tinjauan mengenai masa depan kita hanya sebatas menginterpretasikan, masih sejauh alur prediksi, kemungkinan yang akan terjadi belum memberikan jawaban pasti. Untuk meyakinkan itu, tentulah membutuhkan tahap pembelajaran yang berkala. Dalam prosesi tahapan pembelajaran itu adalah prosesi yang menguji tipikalisme watak dan karakter kita, bagaimana kita bisa mencapai titik kulminasi dari kesuksesan pendidikan itu, apakah bertahan pada integritas legalimse manajerialis, ataukah terlepas dari ikatan itu. Disinilah dikatakan bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengejar nilai yang tertera di kertas, tapi lebih diprioritaskan pada nilai di atas nilai (vertikalisme).
Pendidikan dapat memberikan jawaban juga terhadap aspek bakat dan talenta. Analisis terhadap perspektif biologis, itu berkembang secara alami. Dalam kaitannya dengan edukasi, ia memberikan pemantapan dan kemapanan yang intensif dan efisiensi. Jika pertumbuhan siswa normal, maka dia akan bersikap enerjik, aktif, dan respek, sebaliknya untuk siswa yang pertumbuhannya tidak normal sulit mengenali potensi dan skill dalam dirinya. Aspek kejiwaan ini juga berperan meluruskan jati diri seorang siswa melalui jalur pendidikan. Pendidikan menghadirkan dua versi, yaitu:
Ø  Pribadi yang berkompeten, dimana ia merealisasikan ilmu dalam praktek hidup keseharian (aktualisasi berbasiskan reality). Disini ia harus kreatif dan inovatif, menampilkan keunggulan aktif dari pendidikan itu sendiri. Secara tidak langsung ia mengembangkan potensi yang sudah ada dan yang baru didapat sambil beradaptasi dengan keadaan, sehingga proses berkompeten berjalan lancar dan kendalapun tak terlalu membebankan.
Ø  Pendidikan memberikan dorongan bagi siswa untuk menentukan pilihan. Dalam menentukan pilihannya, siswa harus berkomitmen dan berpegang teguh pada komitmen yang telah ditanamnya (konsisitensi). Pilihan itu harus selektif rasional, maksudnya berdasarkan pertimbangan yang sudah matang dan bijaksana, serta sudah siap menerima segala bentuk konsekuensi atau resiko.
Performa pendidikan bukan hanya dilihat dari sisi luar saja. Ini sama saja pendidikan itu masih bersifat mengambang, dan penentuan arah masih monotone. Berkompeten pada situasi formal itu sangat belum cukup untuk menjamin kehidupan pendidikan (education life), sebab proses mewujudnyatakan adalah pengindahan dari pendidikan itu sendiri, dan nilai yang lebih diutamakan dalam penilaian adalah praktikum. Presentasenya, 1% kita belajar teoritis, 99% kita terjun ke lapangan, membuktikan apakah diri kita mampu menyerap semuanya, dan mampu bertindak sesuai target yang sudah dikemukakan itu. Logika berpikir yang rasional, logika berpikir yang kreatif dan inovatif harus bergandengan tangan, sebab ketiganya ini mempunyai otonomi integritas. Jangan kita menimbulkan arus balik yang menentang, itu sama saja kita telah mengalokasikan teoritis pada versi yang akut, versi yang  dominannya lebih pada gudang resiko yang pada akhirnya boomerang.
Dalam pendidikan yang kita kejar adalah point, bukan koin. Dengan meluncurkan sang pioner yaitu, point, dengan sendirinya koin itu hadir. Banyak orang yang tidak menyekolahkan anaknya hanya karena biaya pendidikan yang terlalu melejit naik. Itu adalah alasan klasik sebagai strategi untuk menangkis, atau merendahkan diri, mengakui sebagai orang yang berada pada posisi tidak mampu. Kalau orang tua betul-betul mempunyai niat besar dan ingin anaknya sekolah demi masa depan yang cerah, apa salahnya mereka korbankan segala kepentingan yang bersifat pleasure principle? Eksistensi primer orang tua adalah memperhatikan anaknya, bagaimana ia mengatur dan mendidik anaknya tidak hanya dalam keluarga. Memang pendidikian dasar itu berawal dari keluarga, tapi itu belum cukup untuk pemenuhan dan kepuasan intelektual seorang anak. Anak butuh pendidikan untuk mampu melengkapi kekurangan dari pendidikan awal dalam keluarga, yaitu pendidikan formal. Di sini ia akan mendapat pengetahuan yang mungkin dalam keluarganya sedikit ada penyimpangan atau ironisnya sedikit di luar alur. Biaya pendidikan bukanlah sebagai problem yang membuat dilema, tapi harus melihat kemauan dan minat dari anak serta orang tua. Orang tua mengharapkan anaknya hidup dalam kemapanan, itu sudah pasti dan mutlak membutuhkan pendidikan yang komplementer, maksudnya, di samping ia menerima pendidikan non formal, ia juga harus mengisi pengetahuannya dengan pendidikan formal. Adaptasi antara kedunya akan menghadirkan satu titik kecerahan yang mungkin saja mayoritasnya menjamin, dan menjanjikan kehidupan, bukan hanya menjanjikan segi teoritis yang tertera di atas dogma atau di atas kertas-kertas putih yang terstruktur.
Pendidikan adalah sesuatu yang bersifat abstrak, tapi mempunyai pengaruh besar dalam setiap sektor kehidupan manusia (the big influence). Arah dan tujuan dari pendidikan itu sendiri tak usah kita menganalisa jauh-jauh, sebab arah dan tujuannya tanpa kita sadari telah hadir depan mata kita. Secara kasat mata, tentu kita tak mampu melihat seluk-beluk pendidikan itu, tapi kalau kita melihat dengan mengintrospeksi diri, ternyata pendidikan itu mempunyai jasa yang tak akan pudar, akan terus melekat dalam setiap diri kita. Sadarkah kita, bahwa sekian tahun kita bergelut dalam ruang pendidikan sehingga kita berdiri pada posisi sekarang? Profesionalisme pendidikan tak sebanding dengan profesionalisme kita sekarang ini. Profesi kita ini suatu waktu akan sampai pada limit waktu yang sudah ditentukan, sedangkan pendidikan itu tak akan berakhir sampai akhir hayat, berlaku sepanjang masa, dan tak mengenal tempo limit waktu.
Struktur pendidikan itu ada tiga, yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga-tiganya ini tak mungkin berjalan sendiri-sendiri, mereka akan selalu merapatkan barisan mengejar yang terbaik demi pemenuhan intelektual yang kemudian difokuskan dalam proses realisasi. Struktur ini berlaku baku dan sudah membias dalam era globalisme. Sekarang tinggal kita yang sebagai peserta prosesi pendidikan, beradaptasi secara bijaksana tanpa melepaskan atau memutuskan benang merah yang sudah terkait satu dengan yang lainnya. Benang merah itu adalah ikatan kesatuan yang menyatukan kita dalam tali persaudaraan demi mengejar pendidikan, pendidikan, dan pendidikan. Kita sebagai pelajar, harus siap menghadapinya dengan hati lapang, dan sebagai kader-kader pelaku perubahan (agent of change). Ingat! Sukses adalah hak saya. Kesuksesan bukan milik orang-orang tertentu. Sukses adalah milik saya, dan milik siapa yang benar-benar menyadari,menginginkan, dan memperjuangkannya dengan sepenuh hati.
belajar tanpa berpikir itu sia-sia, berpikir tanpa belajar itu berbahaya”

Sekian dan terima kasih.


















POLITIK-U$


BUDAYA YANG TAK DIBUDIDAYAKAN



Opini
BUDAYA YANG TAK DIBUDIDAYAKAN
Lorensius Irjan Buu
Dalam peradaban modern sekarang ini, banyak kontaminasi budaya eksternal yang mempengaruhi budaya internal. Efek westernisasi yang melejit pesat kian mengarungi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tingkat perhatian dari pihak yang berwenang untuk menanggulanginya, seperti menemukan jalan buntu. Hal ini menimbulkan pertanyaan, kemana arah pencanangan sejumlah aturan yang tertera dalam dogma-dogma institusi, lembaga atau organisasi tertentu. Seperti menelanjangi budaya sendiri, maraknya seks bebas, miras (minuman keras), kekrasan dan penganiayaan, dan narkoba yang mewabah dalam sekejab.
Sepengetahuan saya, masing-masing daerah dengan ikatan budaya yang telah dirajut menjadi satu budaya komunal di Nusa Tengara Timur (NTT), telah mengajarkan bagaimana berbudaya yang baik. Perihal ajaran moralitas dengan prosesi kulturalisasi. Inilah yang menjadi kekuatan bagi setiap insan. Dalam ajaran adat istiadat tidak menggunakan dogma sebagai panduan utama, tetapi kesadaran dan ikatan kulturalisme dengan segala bentuk pemujaan, sesajian dan tertib dalam kekhusukan seremonial. Sesuatu yang bernilai luhur, adalah ikatan kesetiaan terhadap budaya adat istiadat. Adalah merupakan suatu yang luar biasa, jika setiap insan mampu bergelut dalam kesetiaan budayanya sendiri dengan memperhatikan term-term gejala modernisasi. Nenek moyang/para pendahulu serta para budayawan telah mewadaskan dan tidak mengajarkan sesuatu yang salah, apalagi yang bersifat melanggar aturan. Setiap budaya di NTT mempunyai aturan yang ketat dan jika melakukan kesalahan yang merujuk pada liang lahat tabu atau haram, tak ada komporomi berlanjut. Aturan bersifat mutlak. Itulah yang perlu ditegakkan di masa sekarang. Berawal dari tindakan pengremehan, akan menjadi suatu habitus yang dientengkan di masa yang akan datang.
Tanpa disadari, budaya di NTT perlahan digerus oleh percikan-percikan budaya dari luar. Gejala seperti ini berkecimpung dominan di kalangan remaja. Memang sulit diatasi, karena melihat dari sisi psikologi adalah masa-masa labil. Banyak kasus yang mengatasnamakan remaja dengan modus kasus seperti miras, seks bebas dan narkoba, tawuran dan penganiayaan. Entah bermula dari mana langkah awal yang harus ditempuh, tembok yang menjadi penghalang begitu gampang dirobohkan. Reparasi moral perlu ditata dari dini. Himbauan ini sebagai bentuk keprihatinan insan yang memperhatikan. Norma-norma dalam adat istiadat diperlakukan sebagai anak tiri dan mengabaikan segelintir aturan yang tertera pada lembaga atau intitusi tertentu yang mengatur. Ini tampak seperti kecolongan terhadap budaya, hanya turut partisipasi aktif  dalam aluran arus zaman.
Budaya yang baik dan beradab hanya terngiang dalam pikiran, terumus dalam sejumlah rangkaian wacana dan pelak dari sesuatu yang dikatakan sebagai tindakan nyata. Sulit sekali bahkan boleh dikatakan ruwet untuk mengatasi. Kekuatan sebagai sandaran dan perihal implementasi akan mampu ditampakkan apabila sosok keberadaan zaman yang sedang melaju kencang pada rodanya, dipantau dan dirasionalkan sebagaimana mestinya. Siapa saja boleh turun tangan, karena ini adaah tanggung jawab kita bersama. Pantang menyerah dan berusaha mengalahkan diri sendiri dari tantangan modernisasi perlu dibuktikan dan tidak hanya sebatas sosialisasi dini dan serangkaian metode serta teori yang dikemukakan dengan iringan publikasi, sejalan dengan mempublikasikan diri sebagai pembicara hebat, tapi buahnya nihil.
Bandingkan dengan budaya-budaya lokal di sejumlah wilayah atau pedesaan di NTT. Salah satu budaya yang sangat tajam (tidak menutup kemungkinan budaya di daerah lain), budaya Ja’i dari daerah Ngada dan Nagekeo. Apa yang bisa dipetik dari budaya ini? Pelestarian yang boleh dikatakan sudah mencapai tingkat kulminasi. Budaya Ja’i ini sudah menjadi santapan massa di kala pesta dan acara-acara lainnya. Lantas apa kaitannya dengan budaya di era modern sekarang ini? Insan-insan yang tak merasa siapa dirinya dan dari mana asal ia lahir dengan budaya yang telah melekat sejak dini, mengabaikan dengan kepolosan acuh tak acuh. Relevansi nilai budaya lokal dengan budaya di era modern seakan-akan menjadi sebuah tabrakan dan berlomba-lomba mengukir sejarah privasi atau komunal demi labelisasi dan pencarian ketenaran. Budaya lokal tetaplah budaya yang membatu dan memegang hak mutlak. Budaya modernisasi lebih menekankan reputasi untuk sesuatu yang bersifat komersial dan jika dikaji dari tingkat kelayakan konsumtif, budaya modern hanyalah sebagai budaya modifikasi dengan memangkas sejumlah aturan pada budaya lokal. Tindakan ini adalah suatu penyimpangan karena adakala tidak menerima aspek dan nilai dari budaya yang orisinal.
Lembaga yang berwenang menanggulangi penyimpangan dalam budaya, semestinya tidak mempertimbangkan dan menciptakan teori komparatif baru yang inovatif diskursus. Budaya teaplah pada pendiriannya sebagai fondasi budaya yang berelemen kekhasan lokal sebagai warisan dan kekayaan lokal, bukan memperkaya dengan kombinasi serta intervensi budaya modernisasi sepihak dan non-selektif. Kearifan lokal akan lebih mencuat dari porsi budaya. Kebijaksanaan lokal muncul karena ketaatan terhadap budaya setempat dan tidak mengintervensi dengan budaya modern yang terkadang tak jeli melihat efek dan kelemahan moral yang pad akhirnya membunuh budaya sendiri di kemudian hari. Para leluhur sudah memandatkan warisan budaya sebagai pegangan setiap insan untuk menjadi panutan dalam realitas hidup, sedangkan budaya modern yang sedang melaju, kalau disadari secara intensif, budaya tersebut adalah alat pancing dengan umpan yang menggiurkan. Maka, lahirlah hedonisme yang menjadi biang kreasi yang non-progresif.
Budaya kita, tetaplah budaya kita dan budaya sendiri yang tertanam semenjak leluhur wariskan kepada kita. Perlu ada normalisasi yang ketat untuk kemabli memajukan budaya kita, budaya kearifan lokal di Nusa Tenggara Timur sebagai kekuatan dan pegangan demi kemajuan daerah, moralitas yang tergerus masa bahkan mati suri. Bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang bermartabat, bangsa yang berkualitas dalam kearifan lokal, bangsa yang taat terhadap adat istiadat. Hemat saya, apapun yang menjadi santapan budaya lokal, perlu dikembangkan dalam sistem jaringan luas, sehingga bukan hanya budaya luar yang membangun jaringan tetapi budaya lokal juga yang sebenarnya sangat potensial.