KAMPUNG TOTO {Bho’a Toto}
Oleh : IrjanBuU_Lorensius
Maret 1990.
Senja hampir menjemput petang. Mateus Uduwatu remaja kecil dengan sapaan Teus (Teu), masih ingin membidik burung-burung liar. Batu pelurunya masih ditenteng alih-alih sembari menjinjing bere kusam dari anyaman lontar. Namun, niatnya surut ketika matahari hendak menjemput malam. Sambil bersiul, seirama langkah menurun, perlahan dia meninggalkan gunung.
Tiba-tiba, dari atas gunung, bocah beranjak remaja itu, berlari sambil memegang celananya yang hanya bersabuk tali dari kulit pohon pisang.
“Bapa….mama…”
Namun suara itu tiba-tiba saja lenyap dan anak itu tak tahu entah hilang kemana. Tak berselang lama, lagi suara itu mencuat seakan menggelegar angkasa. Nyaring. Bergaung lalu bergema kesana kemari. Seolah alam berseru menggebu bak dilibas angin tak tentu arah.
“Bapa…(ba..pa..ba..pa)…….mama….(ma..ma..ma..ma).
Seketika pula keluar mereka-mereka penghuni gubuk-gubuk reyot, yang telinganya tak tuli, menguping dari mana suara itu datang. Tetapi, mereka tidak bertutur. Hening membungkam, muram pula, tiada mengumbar ceria. Celingak- celinguk, leher berporos searah, membuntuti suara itu.
Tiba-tiba……
“Brum..bram brum bram…..praaaaaakkk….Bum!!!!!!!”
Gemuruh itu besar. Serupa guntur mengamuk-amuk lalu menggelegar pecah. Pekikan suara histeris, melengking berteriak kabar dari ketinggian.
“Tanah longsor….tanah longsor….tanah longsor!!!”
Kampung itu tepat di kaki gunung. Mereka menamai gunung itu, Wodototo.
Lalu, seperti berpesta, hewan-hewan pun bersuara.
Kambing mengembik-kembik, ayam berkokok-kokok, kucing mengeong-ngeong, babi menguik-nguik, anjing mengonggong-gonggong, kuda meringkik-ringkik, sapi dan kerbau melenguh-lenguh. Bahkan tikus pun turut mencicit-cicit.
Hiruk pikuk jelata yang kekar-kekar, melebur bahu membahu menyelamatkan mereka para tetua-tetua keriput tak berdaya. Anak-anak lari berkejar-kejaran seakan kejadian itu adalah sukacita. Para ibu berkemas-kemas lalu menjinjing bekal-bekal. Semua bersimpul di tengah kampung. Ketakutan menyelimuti mereka. Mereka bertutur-tutur, menampar jidat lalu mengusap dada, dengan nafas terengah-engah.
“Huiii nga’o e, Ga’e Dewa E…deapa oeeeeee…”
“Nga’o bhia e, Ga’e Dewa Eeee…”
“Uuuu ine ame ebu kajo nga’o eeeee”
“Dhiii….nga’o bhia eeeeee…”
“Dunia mo kiamat seda…”
“Ngero..nde’we ke seru ana lo’o ko sai?”
“Teu……Teuuuuuu….Teu…eeeeeeee,,ana nga’o, kau nebha?”.
Suara Lukas Bingu, lumrah disapa Meka Luka, dengan bergelinang air mata, Meka Luka berlari mencari Teu, sembari mengangkat sarung yang selalu membundar dipinggangnya.
“Teuuuuuuu,,,Teuuuu eeeeee kau neba ana oeeeeee”.
Dengan tangis sedu Meka Luka terus memuncak, walau hanya sebatang obor bambu pecahkan gulita diantara pepohonan rindang. Dia terus berteriak memanggil anaknya. Namun, hanya deru dan gemuruh longsoran yang terdengar. Setengah dari kampung itu, kampung yang bernama serupa nama gunung itu, sudah dilindas bebatuan besar dan bongkahan-bongkahan tanah yang menebar. Gubuk-gubuk beratap alang-alang ini sudah tiada tegak. Gubuk-gubuk itu merebah. Teu pun merebah pula di atas semak-semak berduri, duri itu menusuk-nusuk, Teu tak mampu bersuara. Mulutnya berdarah. Sekujur tubuhnya dibalut merah mencair.
“Bbbbb…aaaaaa…ppaaaa”
Suara Teu bagai segumpal kepalan menyemat di mulutnya.
“Teu ana ngao, Teu eeeeee ana ngao eee..kau deapa ana oeee…Teu eeeii nga’o bhia e, Teu eeee”
Meka Luka bersendu seolah meratap. Obor itu semakin meredup. Malam semakin gulita. Malam ini bulan tak bersenyum. Hanya kemilau mutiara bintang nun jauh di angkasa, serupa titik-titik permata.
Di pundak ayahnya, Teu diusung. Obor itu semakin meredup. Kian kemari redup memburam, lalu hanya hamparan hitam terpana sekeliling, ketika angin menghembus obor itu. Sang ayah terus melangkah di tengah kegelapan, walau meraba-raba dan berharap percikan kemilau bintang di antara cela-cela dedaunan rindang.
****
Di tengah kampung itu, seperti tak lagi memikirkan harta benda mereka. Semua terpana, meraba-raba, mengusap-usap, mengelus-elus, mengoyang-goyang, pula meneguhkan.
“Teu…to’o Teu”
“Teu ee…ma’e bhana ana e..”
“Teu, to’o Teuuuuu eeeee ”
“Teu eee pusangai ana oe”
“Teu eee bhia dumata Teu ee”
Tangis mereka mengisak-isak. Teu tak sadarkan diri. Di atas batu berbentuk nyiru, Teu dibasuh. Dicipratnya air-air suci milik adat mereka, adat Toto, dengan segala doa memohon, segala sembah memuji.
“O..Ga’E Dewa dau ndaya. Kau ta ti’i muri, kau ta feta ngai kami. Muri modhe kami pawe, muri weki kami kau peni.
O..Ga’E Dewa dau mada dewa, pata bhesu kami mecu, pata ndate kami pate.
O..Ema Dema todo ndena. Ti’i wado muri ngai ana kami. Wake weki dumata ndaya, pusangai”.
Sajak itu, berombeng-ombeng, tetua adat itu, mengayuh-ayuh parang. Lalu tetua itu, kepala suku Toto, Amekae Robertus Watu Kaju, lumrah disapa Ema Robe, berkumandang lagi.
“Pedha bhaka sakita. Kobe ke kita pota wedu. Odo ngai muri kita, odo sa’o tenda kita, kita ma’e ita, ma’e papa sada. Kobe ke, kita nande ndia keka sa’o ke, kita paka ngai ana kita Teu ta mata sada. Erapoa, kita wake muri kita. Kita ke’ku, kita ke’se, kita ge’pi, pata pede ine ame kita mema nebhu, Udu papa pudu, eko papa pongo. Udu ma’e sedhu, eko ma’e teko”.
Selepas pepatah itu menyerap di kuping-kuping. Semua berbaring. Sedu sedan malam itu, mengisak-isak sampai terbawa lelap. Sang Ibu, tak niat bersayup mata. Kedua pahanya, diletakannya kepala Teu. Tangannya mengusap-usap rambut, lalu ke wajah, lalu meremas-remas tangan. Air mata tak karuan, tak hanya bertetes-tetes. Air mata itu, jatuh dan pecah di wajah Teu. Sekali-kali dia mencium. Bersama sang Ayah, merebah di samping Teu. Sekali-kali meremas-remas jemari-jemari kaki, lalu ke betis. Ayah turut pula berluluran air mata.
“Mama Teu”
Yah, sapaan akrab itu sudah mewabah semenjak Teu dilahirkan, walau sang ibu dipermandikan dengan nama asli Magdalena Wesi Peni, yang ayah ibunya selalu memanggil Lena.
“Oe ine, bhidebha?”
“Kesa Ae budi ko mama Teu?”
“Ee..mai”
Marlina Wuda Ndada, adalah gadis tercantik di desa itu. Dia pantas dijuluki bunga desa. Kala disapa pria tampan berkumis, “Lina”, maka seulas senyum manis akan dia lontarkan, walau masih mengunyah sirih pinang, tak mau dia lewatkan tanpa mengumbar senyumnya. Namun, Lina adalah sosok yang setia dan perhatian. Dia rela memasak air, malam itu untuk memandikan Teu, rela meniup-niup api agar lekas mendidih air di periuk berbahan baku tanah liat {Teu dan Lina hanya selisih bulan kelahiran. Bulan Juli mendatang Teu akan genap 17 tahun, sedangkan Lina akan genap 17 tahun di bulan Agustus}.
Senyap malam itu. Nyanyian jangkrik-jangkrik, seruan katak di pepohonan pisang seolah ingin mendominasi malam itu milik mereka. Namun, senyap itu pecah.
“Hei ine ngao ee, kita sada, kita sada, sada mere peka”
Lambertus Wegu Yewo, Lambe, berusaha berteriak sekuat mungkin.
“Mona, ke kema ko Teu ta sada, Teu sada negha, Teu eee deapa kau gema watu mere Teu, kau mo’o tau mata bhaka sekita, Teu ee kau sada Teu”.
Semua tak berani bicara. Hanya menguping sembari berdengkur. Ayah dan Ibu Teu hanya diam tanpa kata. Tunduk lesu seraya tangis seperti mengundang isak berkepanjangan.
“To’o si’i kau Teu, mo’o ngao aca kau, kau tau mata kami ngedo, kau ‘ida Teu, mo bu rea, sa’o bho maca peka to’o kau. Ine ame kau wedu weki seda Teu? Kau nga dhu nuka wodo, To’o kau Teu, yeka To’o si’i kau, mona bhade kau Teu”.
Malam semakin larut, namun Lambe terus bersahut-sahut mengutuk Teu dan keluarganya. Karena kekar dan ditambah segelas Moke yang memerah, dia teguk ketika Amekae Robe mengayuh-ayuh parang. Dia marah-marah bahkan geram seraya menghentak-hentak kaki.
“Negha si Lambe, yeka nande”
Tetua adat itu menyarankan dari atas pembaringan bilangan-bilahan bambu yang dicincang {soja}. Berulang-ulang Amekae Robe menenangkan Lambe. Namun, Lambe tak mewadaskan kesabaran malam itu. Sampai-sampai dia datang menghampiri Teu dan menarik kaki Teu. Namun, Teu seperti sudah dikabung maut.
“Ma’e Lambe, e”
***
Fajar perlahan menampak. Kokokan ria jago-jago ibarat paduan suara. Semua tersadar, namun tak tahu apa yang harus diperbuat. Penuh harap mereka menanti suara titah tetua adat itu.
“Poa bhaka sa kita”
“Poa”
Tampak batang hidung mereka tak satupun yang ceria. Lesu serupa membalut tampang air muka mereka. Namun, hanya Lambe yang tertawa terbahak.
“Hahah..hahaha…hahaha, mesu e miu. Yenda yao”.
Mereka semua bingung. Tetua pun turut bingung dengan ulahnya Lambe.
“Lambe kau deapa. Bhu moke seda?”
Dengan tidak hormat Lambe menyahut sambil menunjuk-nunjuk jarinya kepada tetua.
“Kau sibuk ne’e nga’o mo tau apa? Kau ta Raja ndia bhoa ke ko meka? Doca ngedo umur mo mese, weki mo ngewu yai i perintah-perintah ata. Kami tado ko? Nga’o ngada ngedo! Miu ke, pedha, ma’e dheko imu, guna mona, doca ngedo, miu ti’i imu ka nado dera mai, nonde imu raja,…”
“Ngemi kau ngedo!!”
Bentakan ini tak sadar diucapkan oleh Meka Luka.
“Kau deka si’i tawa kami, tuka ate kau ne’e ude peka yogha”
“Ko apa ne kau ngasi?? Kau mo’o se’tebhe ko”
“Kau yese kau ta jago Ee ngedo”
Pertengakaran semakin seru dan tak diduga, awal hari baru itu dimulai dengan pertarungan fisik.
“Kau ida, khena kepo ngao sendeka mata mema kau”
“Ee kau ta jago ee ndia bho’a ke, pasa fai dau ndia dau ndia, ida, ga’e pira ta tuka ana to’o kau? Doca Lambe doca kau, tuka ate kau ni ude peka”.
Betapa geramnya si Lambe dan akhirnya terjadi lagi pertarungan sampai Teu bangun. Ketika Teu bangun, semua lari dan memeluk Teu. Tak lupa Lina paling pertama yang tahu Teu sadar. Waktu itu, Ibu Teu sedang berusaha melerai pertarungan, sedangkan si Lina diminta untuk memangku Teu.
“He negha!”
Bentak tetua adat.
“Lambe, kau ta ngasi sada Teu ne, kau ida Teu ni to’o. Kau ngade imu si. Ngara mona dera ke kami teo muri kau”.
Si Lambe mendekat Teu dan menatap tajam.
“Deapa kau gema watu kena?”
“Nga’o mona gema. Nga’o yegho wi’e.
Semua warga diam dan hanya memandang.
“Lambe, selama ke kau pota bhodo pu’u ndia bho’a. Kau bhe’o imu gema watu pu’u ebha mai? Kau roko apa todo wodo?”
Tetua adat merasa janggal akan pertanyaan Lambe.
“Nene, nga’o tei sa’o mere sebelah wodo. Nekena ngao tei do kaju ta pogho negha bodhu woso ee. Kaju kena nee tuli ngara ko om Lambe”
Teu menjelaskan apa yang dia lihat. Ketika selesai menjelaskan, Teu tumbang dan tak sadarkan diri lagi.
“Lambe!!!! Dekasi’i kau pota selama ke kau pogho peka kaju todo wodo we kau tu’e kami watu mere, dhe Lambe e mona jadi kau”.
Tetua adat itu marah dan meminta keadilan dari warga. Namun, ketika tetua adat hendak meminta saran akan keadilan, semua langsung serentak kompak menyerbu dan memukul Lambe hingga berdarah-darah. Penderitaan Lambe melampaui apa yang dialami Teu. Setelah dikeroyok, Lambe ditarik dengan kuda kesana kemari. Lambe berontak berusaha melepaskan penderaan itu. Namun, tak satupun yang ingin menolongnya.
“Negha, negha, negha si. Maca imu dau watu. Wai imu ena dera. Pedha, kita oko peka barang-barang ta ngada pake datu, dheo ndia, maca noto keluarga masing-masing”.
Hari pertama walapun kesiangan memulai bekerja, semangat mereka tetap berapi-api. Sementara Lambe dibaringkan begitu saja tak ada yang memperhatikan. Lalu tiba-tiba iba sang ayah Meka Luka tergerak hati.
“Lambe”
Meka Luka menggendong Lambe dan membarikan di samping Teu.
“Luka, mo tau apa kau ka’o podo weya ta kena”
“Luka, yadha imu mata ti’i mo podo pesa”
“Luka e, tibha imu ridi yanga budi kena”
Berbagai cercaan pun diumbar-umbar warga. Namun Meka Luka tak peduli.
Sore pun tiba. Kini semua warga beristirahat. Semua kelelahan. Menjelang malam tetua adat berkumandang.
“Kobe bhaka sakita, dera ke kita noghe. Nga’o harap kita ma’e noghe wadi untuk erapoa. Erapoa kita nuka wodo, kita sa’a peka kaju ko ta Lambe pogho dheo nuka ndia. Kita ida mada penga ena ke, kita wake sa,o. Kita papa kesa ne’e kaju-kaju ta pu’u sa’o bho kita ta bhegha. Ma’e kita papa ndore, kita kema sama-sama untuk Bho’a Toto kita. Ga’ e Dewa ti’i negha kita rada ta modo, ma’e ida dogho wadi, ma’e papa ndu, kita kema maju dibha, bhoa kita tana watu, muri mata kita. Nga’o harap miu kema sama. Weki do nga’o ni mo ngewu”.
Ketika mengakhiri segala nasihat untuk warga, tetua itu batuk-batuk sampai tumbang. Suaranya parau dan melemah tubuhnya.
“Luka e..Luka e..Luka e..caga bho’a toto”
Tetua itu menutup mata selamanya. Malam itu mereka berkabung besar. Tak menunggu lama, tetua itu dikuburkan besok pagi sebelum fajar tiba. Pada saat yang sama, ketika tetua itu hendak dikuburkan, Teu sadar dan bertanya kepada Lina.
“Sira peka nebha?”
“Kai tane nene”
“Nene mata?”
“E e, mata nebedu”
Teu pun memegang celananya kuat-kuat lalu berlari mengejar usungan jenazah.
“Neneeeeeee…neneeeeee…neneeeee”
Teu berteriak sembari bergelinagan air mata. Ketika hendak memasukan jenazah ke dalam kubur Teu berteriak.
“Neneeee…..”
Semua memandang Teu dan Teu langsung memeluk tetua itu. Kemudian Teu memegang tangan tetua yang kaku itu dan mengambil cincin permata. Di atas kubur itu, Teu mengenakan cincin kebesaran itu kepada sang ayah.
“Ngao nipi mae ndewe, nene ngasi cincin ke ti’i bapa ta pake. Nene ngasi bapa ta caga kita”
Lalu jenazah tetua itu diturunkan.
Kini tetua adat baru telah disematkan di tangan Meka Luka. Setelah pemakaman, semua mereka berkabung selama tiga hari. Nasib Lambe masih sangat membutuhkan perhatian. Meka Luka dengan ketulusannya bersama istrinya merawat Lambe. Pada hari ketiga, Lambe bangkit dari penderaannya.
“Poa bhaka sakita. Poa ke mai kita pedha seru ko Lambe”
Semua dengan mulut tampak menyindir menguping apa yang dikatakan Lambe.
“Poa, nga’o sada. Nga’o minta maaf. Terima kasih woso bapa mama Teu. Nga’o menyesal, nga’o minta maaf”
Lalu seperti hamparan disulap menjadi ruangan auditorium, tepukan tangan mereka menerima permohonan maaf Lambe.
“Kita dede negha ana kita Lambe oa maaf ndewe. Kita ma’e papa sedhu wadi. Mai kita wake bho’a sama-sama, kita tau jaya wado bho’a kita”.
Pidato singkat itu rupanya semakin membangkit semangat mereka para penghuni di kaki Wodototo.
Akhirnya, kaki, tangan, hati dan pikiran mereka bersatu membangun BHO’A TOTO.
(Klaten,16-18 Juli 2015) Selesai.
NB:
>Cerita ini hanya fiktif belaka
>Cerita dengan bahasa khas Nagekeo Toto, tepatnya Wolowae.
>Silahkan komentar kritik dan saran
>Mohon maaf jika ada kesamaan nama
LorensIrjanBuu
Jumat, 25 Desember 2015
Selasa, 21 April 2015
Kamis, 23 Oktober 2014
EDUKASIONAL
RADIKALISME EDUKASI
Lorensius
Irjan Buu
Berbicara tentang
pendidikan, merupakan bahasa abstrak, tapi perwujudannya berpengaruh besar
dalam setiap segmen kehidupan manusia. Tinjauan terhadap pendidikan tidak hanya
satu versi, melainkan beragam versi, yang merangkul sector internal dan
eksternal setiap insan. Pada sektor internal, dia lebih mengarahkan pada
pembedahan dan pembenahan karakteristik, yang meliputi aspek psikologi,
mentalitas, moral batiniah, yang kemudian dikembangkan dalam pendidikan nilai
(karakter). Dikatakan sistem pendidikan yang radikal, karena menimba pendidikan
bukan hanya untuk sekolah, menimba pendidikan lebih pada bidang kehidupan, (non scholae sed vitae discimus).
Salahlah bagi orang yang berargumentasi bahwa proses pembelajaran
dispesifikasikan pada situasi formal, sedikit melirik pada proses pembelajaran
non formal. Perlu diketahui bahwa pendidikan itu ada karena atmosfer di luar
situasi formal. Pengalaman yang non formal ditarikmasukkan dalam pendidikan
formal. Pada pendidikan formsl, para pelajar dididik bukan atas dasar
serentetan manajemen aturan, tapi dididik karena makna tersirat dari aturan itu
sendiri, (the invisible meaning) yang
secara tidak sadar membina aspek karakteristik yang radikal. Pendidikan
bukanlah budaya, melainkan hal dasariah yang boleh kita katakan sebagai primary item. Pendidikan adalah
cakrawala yang memberikan kecerahan di masa yang akan datang. Tinjauan mengenai
masa depan kita hanya sebatas menginterpretasikan, masih sejauh alur prediksi,
kemungkinan yang akan terjadi belum memberikan jawaban pasti. Untuk meyakinkan
itu, tentulah membutuhkan tahap pembelajaran yang berkala. Dalam prosesi
tahapan pembelajaran itu adalah prosesi yang menguji tipikalisme watak dan
karakter kita, bagaimana kita bisa mencapai titik kulminasi dari kesuksesan
pendidikan itu, apakah bertahan pada integritas legalimse manajerialis, ataukah
terlepas dari ikatan itu. Disinilah dikatakan bahwa pendidikan bukan hanya
sekedar mengejar nilai yang tertera di kertas, tapi lebih diprioritaskan pada
nilai di atas nilai (vertikalisme).
Pendidikan dapat
memberikan jawaban juga terhadap aspek bakat dan talenta. Analisis terhadap
perspektif biologis, itu berkembang secara alami. Dalam kaitannya dengan
edukasi, ia memberikan pemantapan dan kemapanan yang intensif dan efisiensi.
Jika pertumbuhan siswa normal, maka dia akan bersikap enerjik, aktif, dan
respek, sebaliknya untuk siswa yang pertumbuhannya tidak normal sulit mengenali
potensi dan skill dalam dirinya. Aspek kejiwaan ini juga berperan meluruskan
jati diri seorang siswa melalui jalur pendidikan. Pendidikan menghadirkan dua
versi, yaitu:
Ø Pribadi yang berkompeten,
dimana ia merealisasikan ilmu dalam praktek hidup keseharian (aktualisasi
berbasiskan reality). Disini ia harus kreatif dan inovatif, menampilkan
keunggulan aktif dari pendidikan itu sendiri. Secara tidak langsung ia
mengembangkan potensi yang sudah ada dan yang baru didapat sambil beradaptasi
dengan keadaan, sehingga proses berkompeten berjalan lancar dan kendalapun tak
terlalu membebankan.
Ø Pendidikan memberikan dorongan bagi
siswa untuk menentukan pilihan. Dalam menentukan
pilihannya, siswa harus berkomitmen dan berpegang teguh pada komitmen yang
telah ditanamnya (konsisitensi). Pilihan itu harus selektif rasional, maksudnya
berdasarkan pertimbangan yang sudah matang dan bijaksana, serta sudah siap
menerima segala bentuk konsekuensi atau resiko.
Performa pendidikan
bukan hanya dilihat dari sisi luar saja. Ini sama saja pendidikan itu masih
bersifat mengambang, dan penentuan arah masih monotone. Berkompeten pada
situasi formal itu sangat belum cukup untuk menjamin kehidupan pendidikan
(education life), sebab proses mewujudnyatakan adalah pengindahan dari
pendidikan itu sendiri, dan nilai yang lebih diutamakan dalam penilaian adalah
praktikum. Presentasenya, 1% kita belajar teoritis, 99% kita terjun ke
lapangan, membuktikan apakah diri kita mampu menyerap semuanya, dan mampu
bertindak sesuai target yang sudah dikemukakan itu. Logika berpikir yang
rasional, logika berpikir yang kreatif dan inovatif harus bergandengan tangan,
sebab ketiganya ini mempunyai otonomi integritas. Jangan kita menimbulkan arus
balik yang menentang, itu sama saja kita telah mengalokasikan teoritis pada
versi yang akut, versi yang dominannya
lebih pada gudang resiko yang pada akhirnya boomerang.
Dalam pendidikan yang
kita kejar adalah point, bukan koin. Dengan meluncurkan sang pioner
yaitu, point, dengan sendirinya koin itu hadir. Banyak orang yang tidak
menyekolahkan anaknya hanya karena biaya pendidikan yang terlalu melejit naik.
Itu adalah alasan klasik sebagai strategi untuk menangkis, atau merendahkan
diri, mengakui sebagai orang yang berada pada posisi tidak mampu. Kalau orang
tua betul-betul mempunyai niat besar dan ingin anaknya sekolah demi masa depan
yang cerah, apa salahnya mereka korbankan segala kepentingan yang bersifat pleasure principle? Eksistensi primer
orang tua adalah memperhatikan anaknya, bagaimana ia mengatur dan mendidik
anaknya tidak hanya dalam keluarga. Memang pendidikian dasar itu berawal dari
keluarga, tapi itu belum cukup untuk pemenuhan dan kepuasan intelektual seorang
anak. Anak butuh pendidikan untuk mampu melengkapi kekurangan dari pendidikan
awal dalam keluarga, yaitu pendidikan formal. Di sini ia akan mendapat
pengetahuan yang mungkin dalam keluarganya sedikit ada penyimpangan atau
ironisnya sedikit di luar alur. Biaya pendidikan bukanlah sebagai problem yang
membuat dilema, tapi harus melihat kemauan dan minat dari anak serta orang tua.
Orang tua mengharapkan anaknya hidup dalam kemapanan, itu sudah pasti dan
mutlak membutuhkan pendidikan yang komplementer, maksudnya, di samping ia
menerima pendidikan non formal, ia juga harus mengisi pengetahuannya dengan
pendidikan formal. Adaptasi antara kedunya akan menghadirkan satu titik
kecerahan yang mungkin saja mayoritasnya menjamin, dan menjanjikan kehidupan,
bukan hanya menjanjikan segi teoritis yang tertera di atas dogma atau di atas
kertas-kertas putih yang terstruktur.
Pendidikan adalah
sesuatu yang bersifat abstrak, tapi mempunyai pengaruh besar dalam setiap
sektor kehidupan manusia (the big
influence). Arah dan tujuan dari pendidikan itu sendiri tak usah kita
menganalisa jauh-jauh, sebab arah dan tujuannya tanpa kita sadari telah hadir
depan mata kita. Secara kasat mata, tentu kita tak mampu melihat seluk-beluk
pendidikan itu, tapi kalau kita melihat dengan mengintrospeksi diri, ternyata
pendidikan itu mempunyai jasa yang tak akan pudar, akan terus melekat dalam
setiap diri kita. Sadarkah kita, bahwa sekian tahun kita bergelut dalam ruang
pendidikan sehingga kita berdiri pada posisi sekarang? Profesionalisme
pendidikan tak sebanding dengan profesionalisme kita sekarang ini. Profesi kita
ini suatu waktu akan sampai pada limit waktu yang sudah ditentukan, sedangkan
pendidikan itu tak akan berakhir sampai akhir hayat, berlaku sepanjang masa,
dan tak mengenal tempo limit waktu.
Struktur pendidikan itu
ada tiga, yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga-tiganya ini tak
mungkin berjalan sendiri-sendiri, mereka akan selalu merapatkan barisan
mengejar yang terbaik demi pemenuhan intelektual yang kemudian difokuskan dalam
proses realisasi. Struktur ini berlaku baku dan sudah membias dalam era
globalisme. Sekarang tinggal kita yang sebagai peserta prosesi pendidikan,
beradaptasi secara bijaksana tanpa melepaskan atau memutuskan benang merah yang
sudah terkait satu dengan yang lainnya. Benang merah itu adalah ikatan kesatuan
yang menyatukan kita dalam tali persaudaraan demi mengejar pendidikan,
pendidikan, dan pendidikan. Kita sebagai pelajar, harus siap menghadapinya
dengan hati lapang, dan sebagai kader-kader pelaku perubahan (agent of change). Ingat! Sukses adalah
hak saya. Kesuksesan bukan milik orang-orang tertentu. Sukses adalah milik
saya, dan milik siapa yang benar-benar menyadari,menginginkan, dan
memperjuangkannya dengan sepenuh hati.
“belajar tanpa berpikir itu sia-sia, berpikir tanpa belajar itu
berbahaya”
Sekian
dan terima kasih.
BUDAYA YANG TAK DIBUDIDAYAKAN
Opini
BUDAYA
YANG TAK DIBUDIDAYAKAN
Lorensius Irjan Buu
Dalam
peradaban modern sekarang ini, banyak kontaminasi budaya eksternal yang
mempengaruhi budaya internal. Efek westernisasi yang melejit pesat kian
mengarungi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tingkat perhatian dari pihak yang berwenang untuk
menanggulanginya, seperti menemukan jalan buntu. Hal ini menimbulkan pertanyaan,
kemana arah pencanangan sejumlah aturan yang tertera dalam dogma-dogma
institusi, lembaga atau organisasi tertentu. Seperti menelanjangi budaya
sendiri, maraknya seks bebas, miras (minuman keras), kekrasan dan penganiayaan, dan narkoba yang mewabah dalam sekejab.
Sepengetahuan
saya, masing-masing daerah dengan ikatan budaya yang telah dirajut menjadi satu budaya komunal di Nusa Tengara Timur (NTT), telah
mengajarkan bagaimana berbudaya yang baik. Perihal ajaran moralitas dengan
prosesi kulturalisasi. Inilah yang menjadi kekuatan bagi setiap insan. Dalam
ajaran adat istiadat tidak menggunakan dogma sebagai panduan utama, tetapi
kesadaran dan ikatan kulturalisme dengan segala bentuk pemujaan, sesajian dan
tertib dalam kekhusukan seremonial. Sesuatu yang bernilai luhur, adalah ikatan
kesetiaan terhadap budaya adat istiadat. Adalah merupakan suatu yang luar
biasa, jika setiap insan mampu bergelut dalam kesetiaan budayanya sendiri
dengan memperhatikan term-term gejala
modernisasi. Nenek moyang/para pendahulu serta para budayawan
telah
mewadaskan dan tidak
mengajarkan sesuatu yang salah, apalagi yang bersifat melanggar aturan. Setiap
budaya di NTT mempunyai aturan yang ketat dan
jika melakukan kesalahan yang merujuk pada liang lahat tabu atau haram, tak ada komporomi
berlanjut. Aturan bersifat mutlak. Itulah yang perlu ditegakkan di masa
sekarang. Berawal dari tindakan pengremehan, akan menjadi suatu habitus yang
dientengkan di masa yang akan datang.
Tanpa
disadari, budaya di NTT perlahan digerus oleh percikan-percikan budaya dari
luar. Gejala seperti ini berkecimpung dominan di kalangan remaja. Memang sulit
diatasi, karena melihat dari sisi psikologi adalah masa-masa labil. Banyak
kasus yang mengatasnamakan remaja dengan modus kasus seperti miras, seks bebas
dan narkoba,
tawuran dan penganiayaan.
Entah bermula dari mana langkah awal yang harus ditempuh, tembok yang menjadi
penghalang begitu gampang dirobohkan. Reparasi moral perlu ditata dari dini.
Himbauan ini sebagai bentuk keprihatinan insan yang memperhatikan. Norma-norma
dalam adat istiadat diperlakukan sebagai anak tiri dan mengabaikan segelintir
aturan yang tertera pada lembaga atau intitusi tertentu yang mengatur. Ini
tampak seperti kecolongan terhadap budaya, hanya turut partisipasi aktif dalam aluran arus zaman.
Budaya
yang baik dan beradab hanya terngiang dalam pikiran, terumus dalam sejumlah
rangkaian wacana dan pelak dari sesuatu yang dikatakan sebagai tindakan nyata.
Sulit sekali bahkan boleh dikatakan ruwet untuk mengatasi. Kekuatan sebagai
sandaran dan perihal implementasi akan mampu ditampakkan apabila sosok
keberadaan zaman yang sedang melaju kencang pada rodanya, dipantau dan
dirasionalkan sebagaimana mestinya. Siapa saja boleh turun tangan, karena ini
adaah tanggung jawab kita bersama. Pantang menyerah dan berusaha mengalahkan
diri sendiri
dari tantangan modernisasi perlu dibuktikan dan tidak hanya sebatas sosialisasi
dini dan serangkaian metode serta teori yang dikemukakan dengan iringan publikasi,
sejalan dengan mempublikasikan diri sebagai pembicara hebat, tapi buahnya
nihil.
Bandingkan
dengan budaya-budaya lokal di sejumlah wilayah atau pedesaan di NTT. Salah satu
budaya yang sangat tajam (tidak menutup kemungkinan budaya di daerah lain), budaya Ja’i dari daerah Ngada dan
Nagekeo. Apa yang bisa dipetik dari budaya ini? Pelestarian yang boleh
dikatakan sudah mencapai tingkat kulminasi. Budaya Ja’i ini sudah menjadi
santapan massa di kala pesta dan acara-acara lainnya. Lantas apa kaitannya
dengan budaya di era modern sekarang ini? Insan-insan yang tak merasa siapa
dirinya dan dari mana asal ia lahir dengan budaya yang telah melekat sejak
dini, mengabaikan dengan kepolosan acuh tak acuh. Relevansi nilai budaya lokal
dengan budaya di era modern seakan-akan menjadi sebuah tabrakan dan
berlomba-lomba mengukir sejarah privasi atau komunal demi labelisasi dan
pencarian ketenaran. Budaya lokal tetaplah budaya yang membatu dan memegang hak
mutlak. Budaya modernisasi lebih menekankan reputasi untuk sesuatu yang
bersifat komersial dan jika dikaji dari tingkat kelayakan konsumtif, budaya
modern hanyalah sebagai budaya modifikasi dengan memangkas sejumlah aturan pada
budaya lokal. Tindakan ini adalah suatu penyimpangan karena adakala tidak menerima aspek dan nilai dari
budaya yang orisinal.
Lembaga yang berwenang menanggulangi penyimpangan dalam budaya,
semestinya tidak mempertimbangkan dan menciptakan teori komparatif baru yang
inovatif diskursus. Budaya teaplah pada pendiriannya sebagai fondasi budaya
yang berelemen kekhasan lokal sebagai warisan dan kekayaan lokal, bukan
memperkaya dengan kombinasi serta intervensi budaya modernisasi sepihak dan non-selektif. Kearifan lokal akan lebih
mencuat dari porsi budaya. Kebijaksanaan lokal muncul karena ketaatan terhadap
budaya setempat dan tidak mengintervensi dengan budaya modern yang terkadang
tak jeli melihat efek dan kelemahan moral yang pad akhirnya membunuh budaya
sendiri di kemudian hari. Para leluhur sudah memandatkan warisan budaya sebagai
pegangan setiap insan untuk menjadi panutan dalam realitas hidup, sedangkan
budaya modern yang sedang melaju, kalau disadari secara intensif, budaya
tersebut adalah alat pancing dengan umpan yang menggiurkan. Maka, lahirlah
hedonisme yang menjadi biang kreasi yang non-progresif.
Budaya kita, tetaplah budaya kita dan budaya sendiri yang tertanam
semenjak leluhur wariskan kepada kita. Perlu ada normalisasi yang ketat untuk
kemabli memajukan budaya kita, budaya kearifan lokal di Nusa Tenggara Timur
sebagai kekuatan dan pegangan demi kemajuan daerah, moralitas yang tergerus
masa bahkan mati suri. Bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang bermartabat,
bangsa yang berkualitas dalam kearifan lokal, bangsa yang taat terhadap adat
istiadat. Hemat saya, apapun yang menjadi santapan budaya lokal, perlu
dikembangkan dalam sistem jaringan luas, sehingga bukan hanya budaya luar yang
membangun jaringan tetapi budaya lokal juga yang sebenarnya sangat potensial.
Langganan:
Postingan (Atom)